Nama aku Aliyya Larasati Abhinawa, aku lahir di kota yang dijuluki dengan kota hujan. Terlahir sebagai anak tunggal bukanlah hal yang mudah untukku, kalau saja bisa memilih, aku akan meminta kepada Tuhan untuk terlahir sebagai anak kedua atau ketiga, tapi inilah takdirku. Setelah aku lahir, aku di bawa oleh nenek ke kampung halaman karena orang tua ku ingin melanjutkan kerja di kota dengan julukan kota hujan tersebut. Aliyya kecil tumbuh sebagai anak desa, aku juga menepuh pendidikan awal ku di sana. Tepatnya di Sumatera Selatan, Palembang. Terkadang hati memanas ketika orang-orang sekitar mengatakan, "Enak ya, jadi anak tunggal" rasanya ingin tertawa sekaligus menendangnya keluar dari bumi. Ya, memang banyak anak tunggal di luar sana yang hidupnya tertata rapih, yang sejak kecil jika ingin sesuatu tidak menunggu lama langsung di belikan oleh orang tua mereka dan ketika sudah besarpun hidupnya masih tertata. Namun itu bukan aku, aku adalah anak tunggal yang lahir di keluarga sederhana, keluarga yang berjuang untuk memberikan yang terbaik kepada anak perempuan satu-satunya ini. Banyak sekali tantangan dan rintangan yang aku hadapi sejak terlahir di dunia pada 05, September 2005. Dan semuanya tidaklah mudah untuk sampai pada saat ini.
Melalui perjalanan hidup yang berat dan sedikit berwarna, aku telah mengalami pertumbuhan, perubahan, dan pencapaian yang membentuk siapa dan bagaimana saya saat ini. Sejak kecil, Sejak kecil, saya terpesona dengan bidang medis dan terinspirasi oleh kisah-kisah para dokter yang menyelamatkan nyawa dan membantu orang yang membutuhkan. Seiring bertambahnya usia, minat saya terhadap kedokteran semakin meningkat. Membantu orang lain adalah bagian integral dari diri saya, dan menjadi seorang dokter akan memungkinkan saya melakukan hal itu setiap hari. Aku selalu mempunyai mimpi besar untuk menjadi seorang dokter. Mimpi ini tidak hanya menjadi bagian dari cita-cita pribadi saya, tetapi juga merupakan impian keluarga saya. Kami adalah keluarga yang tumbuh dalam lingkungan di mana akses terhadap perawatan medis berkualitas sangat terbatas. Di kampung halaman ku jarak antara desa dan rumah sakit terpaut jauh walaupun mengendarai mobil, jadi jika ada masyarakat desa yang mengalami masalah kesehatan mereka hanya di bawa ke Puskesmas terdekat dan satu-satunya yang ada di desa tersebut. Yang dimana menurutku tenaga medis di sana masih kurang. Namun yang menyedihkan adalah ketika ada masyarakat yang mengalami masalah kesehatan yang cukup berat mereka terpaksa di bawa ke rumah sakit dan menahan rasa sakit untuk waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, setelah melihat keadaan seperti ini aku lebih memupuk dalam diriku keinginan yang kuat untuk menjadi seseorang yang dapat memberikan bantuan dan perubahan. Aku ingin membantu mereka yang membutuhkan, terutama mereka yang kurang beruntung, dalam mengatasi masalah kesehatan mereka karena kendala biaya.
Cita-cita saya untuk menjadi seorang dokter adalah panggilan untuk memberikan pertolongan medis yang layak kepada masyarakat, terutama mereka yang memiliki keterbatasan akses terhadap perawatan kesehatan yang mereka butuhkan. Saya menyadari bahwa perjalanan menuju menjadi seorang dokter tidak akan mudah. Ini akan membutuhkan tekad, kerja keras, dan dedikasi yang sungguh-sungguh. Aku selalu membayangkan bagaimana seorang dokter menangani pasiennya itu sangat luar biasa, bak seorang pahlawan hal itu juga berhasil memotivasi diri ini untuk terus maju dan menggapainya.
Walaupun memang jika di pikirkan sepertinya aku tidak mungkin untuk menggapai cita-cita tersebut, banyak hal yang terlintas di dalam kepalaku ntah bagaimana orang tua ku bisa membiayainya sedangkan untuk menjadi sebuah dokter butuh biaya yang sangat banyak, kalau orang-orang bilang "Jual rumah juga ngga cukup buat bisa jadi dokter." Aku sadar bahwa jalan untuk menjadi seorang dokter juga penuh dengan tantangan, baik secara akademis maupun pribadi. Perlu latihan yang ketat, jam belajar yang panjang, dan beban emosional dapat menjadi hal yang menakutkan. Namun, saya tidak terpengaruh. Komitmen terhadap impian saya memicu ketahanan dan tekad saya.
Dan saat ini aku duduk di kelas 12 SMA, tinggal satu langkah lagi untuk mempertimbangkan aku ingin menjadi apa, ingin menjadi seseorang yang bekerja di bidang apa, apakah aku bisa atau harus menyerah saja? Huft, kalau di suruh menghitung sudah berapa kali aku memikirkan semua ini, aku berhenti pada hitungan ke 10.000.000 kali. Banyak jurusan-jurusan yang sudah aku jelajahi untuk menggantikan cita-cita masa kecilku, namun setelah aku pikirkan lagi aku merasa tidak mampu untuk menggapai cita-cita masa kecilku, melihat diriku yang belum bisa menjadi siswi berprestasi di sekolah serta aku harus bersaing dengan teman-temanku yang berada di atasku.
Aku merasa bahwa aku tidak mampu melesat lebih tinggi lagi di atas mereka bahkan sebagian dari mereka berhasil menjadi siswi berprestasi di sekolah. Sedih rasanya harus meninggalkan cita-cita yang seharusnya bisa aku gapai tapi dikarenakan satu dan lain hal aku merasa tidak mampu secara mental, fisik serta secara finansial. Butuh waktu yang cukup lama untuk berdamai dengan diri sendiri supaya tidak terlalu kecewa, menghadapi berbagai macam omongan dari orang-orang terdekat serta keluarga dan berusaha menjelaskan kepada semua orang membuatku merasa terdesak dan sangat terpukul. Namun, aku berusaha berdamai dengan diri sendiri dan mencoba mencari jurusan-jurusan lain yang aku minati dan untuk kali ini semoga Tuhan mengizinkan menggapai cita-cita dewasaku ini, semoga orang-orang terdekat serta keluargaku bisa mendukung semua keputusan serta meridhoinya. Sudah aku bilang di awal, menjadi anak tunggal tidak semenyenangkan itu, pundakmu akan terasa berkali lipat lebih berat karena membawa ekspektasi dan harapan keluarga. Ya, aku mengecewakan mereka semua, aku harap mereka bisa mengerti. Inilah kisahku, memang tidak terlalu menyenangkan, tapi karena semua tantangan yang dihadapi aku bisa sampai pada saat ini.
